GreenNotes
Suatu kali, al-Junaid radiyallahu ‘anhu tak sengaja melihat seekor kucing sedang mengejar tikus. Tikus itu masuk ke lobang untuk menyelamatkan diri. Tapi si kucing tak berputus asa, ia terus mengintai di depan lubang penuh waspada. Seluruh bulu badannya tegak, siaga menerkam mangsanya.
Melihat pemandangan ini, al-Junaid bergumam, “Wahai hamba yang lemah, adakah semangatmu sepadan dengan ambisi kucing itu? Jika iya, lantas apakah yang kamu kejar senilai dengan apa yang kau buru?”
Begitulah, pemandangan singkat itu menyuguhkan pelajaran yang sangat berharga bagi al-Junaid, kemudian juga bagi kita. Pelajaran tentang dua hal, semangat yang tinggi dan cita-cita yang tinggi.
Tipe Manusia Berdasarkan Semangat dan Cita-cita
Berdasarkan kadar semangat dan tingginya cita-cita, manusia tak luput dari empat golongan.
Pertama, orang yang lemah semangat sekaligus rendah cita-citanya. Dia adalah para pemalas yang hanya suka berpangku tangan. Hidupnya hanya untuk main-main, mengalir tanpa arah. Masa depannya suram. Ia harus menelan pahitnya kebodohan, dan tak jarang juga mereguk pedihnya kemiskinan. Belum lagi, penderitaan akhirat telah menanti.
Kedua, orang yang lemah semangatnya, namun tinggi cita-citanya. Meskipun, tipe kedua ini hanya banyak ditemukan pada pengakuan. Sedang hakikatnya, bertolak belakang. Atau lebih tepat jika dikatakan sebagai orang yang lemah semangatnya, namun tinggi angan-angannya. Karena, jika memang cita-citanya tinggi, tentu menjadi pengatrol semangat untuk berjuang mendapatkannya. Bagaimana mungkin seseorang memiliki cita-cita yang tinggi, tapi mengidap penyakit lemah semangat. Di antara ulama mengumpamakan orang seperti ini laksana berlayar di daratan; tarjuu an-najaata walam tasluk masaalikaha, inna as-safiinata laa tajri ‘alal yabas. Ingin sukses, tapi tak mau menempuh jalannya, sesungguhnya perahu tidak bisa berlayar di daratan. Begitulah perumpamaan bagi orang yang ingin kaya, tapi malas bekerja, ingin menjadi ulama, tapi tidak mau belajar dan ingin masuk jannah, tapi tak mau menjalani konsekuensinya.
Ini pula yang disindir oleh senior tabi’in Abu Sulaiman ad-Daaraani, tatkala mendapati rumah-rumah kaum muslimin lengang di waktu malam. Tak ada suara bacaan al-Qur’an, tak ada tangis orang yang seding berdzikir, tak pula terdengar suara takbir dari orang yang sedang shalat. Lalu beliau berkata, ‘ajibtu ‘anil jannah kaifa naama thaalibuha, wa ‘ajibtu ‘anin naar, kaifa naama haaribuha. “Aku heran terhadap jannah, bagaimana orang yang memburunya bisa tertidur lelap. Dan aku heran terhadap neraka, bagaimana orang yang lari darinya bisa tidur nyenyak.”
Ketiga, orang yang tinggi semangatnya, namun rendah cita-citanya. Apakah ini mungkin? Iya. Dan inilah tipe seperti kucing yang dicontohkan oleh al-Junaid. Semangatnya membaja, tapi hanya untuk mengenyangkan perut semata. Tak ada salahnya itu terjadi pada seekor kucing, karena kucing tidak ‘dititipi’ akal, tidak pula ada taklif yang berdampak pada konsekuensi di akhirat. Tapi tentu saja hal ini naif jika dilakukan manusia. Semangatnya tinggi, namun obsesinya hanya sebatas kesenangan perut dan syahwat. Ambisi puncaknya tak lebih dari dunia yang fana. Karakter ini dimiliki oleh orang-orang kafir dan orang-orang yang paling dekat levelnya dengan mereka, “dzaalika mablaghuhum minal ’ilmi”, (dunia) itulah ilmu sejauh-jauh pengetahuan mereka.
Keempat adalah tipe yang ideal. Memiliki semangat tinggi, untuk meraih obsesi yang tinggi pula. Mereka inilah pemilik masa depan yang cerah, meski berangkat dari orang biasa atau bahkan budak jelata.
Dari Orang Biasa Menjadi Istimewa
Sejarah mencatat, kesungguhan semangat dan tingginya cita-cita telah mengangkat derajat orang-orang biasa menjadi istimewa. Bahkan menobatkan para budak dan rakyat jelata menjadi lebih mulia dari para raja.
Seperti yang diungkapkan oleh Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik kepada putranya, selepas meminta fatwa kepada Atha’ bin Abi Rabah, mantan budak yang menjadi ulama. Beliau mengatakan, “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya, dialah Atha’ bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjidil Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhu dengan bagian yang banyak.” Kemudian beliau melanjutkan, “Wahai anakku carilah ilmu, karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat, para budak bisa melampaui derajat para raja.”
Yang lebih menakjubkan, ulama-ulama terkemuka di zaman tabi’in didominasi oleh anak-anak budak dan mantan budak (maula). Seperti yang dikatakan Ibnu Abi Laila saat ditanya oleh Isa bin Musa mengenai orang yang paling faqih (pandai) di masing-masing negeri. Yang paling faqih di Bashrah adalah Hasan al-Bashri, kemudian Muhammad bin Sirin. Yang paling faqih di Mekah adalah Atha’ bin Abi Rabah, Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair dan Sulaiman bin Yasar, mereka semua dari kalangan mantan budak.
Yang paling pandai di kota Quba’ adalah Rabi’ah ar-Ra’yi dan Ibnu Abi az-Zanad, yang paling faqih di kalangan penduduk Yaman adalah Thawus, puteranya dan juga Hamam bin Munabih. Yang paling faqih di kalangan Khurasan adalah Atha’ bin Abdillah al-Khurasani dan di kalangan al-Jazair adalah Maimun bin Mahran. Mereka berasal dari kalangan mantan budak.
Kesungguhan mereka untuk mencari ilmu, lalu berusaha mengamalkan dan mengajarkannya, menjadikan mereka terhormat di sisi manusia, dan in syaallah mereka mulia di sisi Allah, sebagaimana firman-Nya,
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadalah 11)
Semoga Allah menjaga semangat kita untuk berproses menjadi hamba-hambaNya yang mulia di sisi-Nya. Aamiin.