Thursday

Cita-cita

Vemale.com - Oleh: Agatha Yunita

Disebut cita-cita dan digantungkan setinggi mungkin untuk menjadi motivasi bagi seseorang meraihnya. Dengan demikian, seseorang akan berusaha lebih keras mewujudkan. Ada yang berhasil, ada pula yang hanya mampu sampai di anak tangga kesekian. Tetapi, yang sampai di anak tangga kesekian tadi, bukan berarti dibilang gagal.

Kalau ditanya, cita-citamu apa?

Jawaban dengan lantang dan bangga membuat yang mendengarkannya tersenyum lebar dan kagum. "Aku ingin menjadi pilot...", "Aku ingin menjadi dokter...", "Aku ingin menjadi menteri Pendidikan..."

Kesemuanya adalah cita-cita besar yang selalu dikagumi dan ingin didengar oleh orang tua dan orang di sekitar. Tetapi, saat kemudian mendengar sebuah cita-cita sederhana, mengapa reaksi yang timbul justru meremehkan dan menganggap rendah seseorang?
penjual pecel

Seperti biasa, bu Ratmi meladeni pelanggan sejak pukul 05.30. Dengan senyum yang disungging di wajah, mata berbinar dan sapaan ramah setiap orang yang mengantre di warungnya.
Pukul 10 pagi, nasi pecelnya sudah ludes terjual, tak bersisa. Yang tersisa mungkin rasa lelah tubuh karena harus bangun menjelang pagi untuk memilah sayuran yang disiapkan sebagai bahan pecel.
Pun demikian, bu Ratmi tidak segera pulang ke rumahnya. Usai menutup warungnya, ia pergi ke pasar. Mencari sayuran segar yang sudah dipesannya pada pedagang langganan. Ia memastikan dan wanti-wanti (istilah Jawa untuk 'berpesan dengan sungguh-sungguh' -red) agar diberi sayuran yang benar-benar segar. Ia tak segan menolak sayuran yang kualitasnya buruk, dan hanya mengambil yang baik saja sekalipun harganya lebih mahal.
"Yang saya jual ini kan sayur. Akan dimakan oleh banyak orang. Kalau saya pilih yang tidak segar, terus langganan saya sakit perut, saya akan merasa sangat bersalah sekali..." ungkapnya.
Sepulang dari pasar ia akan menyiangi sayuran tersebut, dicuci hingga bersih dan disimpan sejenak di lemari pendingin yang khusus dibeli untuk menyimpan sayuran segarnya. Beristirahat sejenak, kemudian ia mulai menyiapkan kacang yang hendak disangrainya.
"Kalau soal kacang yang disangrai, memang sih lebih lama pengolahannya. Tapi, saya pernah baca kalau disangrai lemaknya kan tidak sebanyak saat digoreng pakai minyak. Gini-gini saya juga bisa baca tulis. Saya berusaha memberikan yang terbaik buat pelanggan nasi pecel saya..." terang bu Ratmi.

Ditanya soal cita-citanya, sejenak menghentikan semua aktivitas. Bu Ratmi tersenyum dan terdiam beberapa detik. Sembari melanjutkan aktivitasnya ia bertutur...
"Cita-cita saya sederhana. Saya ingin menjual nasi pecel yang saya sediakan sepenuh hati. Saya harus memilah baik-baik sayuran mana yang berkualitas. Kalau busuk ya tidak akan saya sajikan, saya sendiri juga nggak mau makan makanan yang busuk. Langganan saya banyak yang dokter, jadi saya juga bertanya bagaimana menyajikan menu yang sehat. Salah satunya disarankan untuk mengolah kacangnya dengan disangrai. Saya pernah membacanya juga, dan saya buktikan sekarang. Saya akan bangun pagi-pagi, membungkus setiap pesanan nasi pecel pelanggan. Dan melihat mereka pulang dengan perut kenyang serta tubuh yang sehat. Itu saja cita-cita saya..." tutupnya dengan senyum.

Sederhana, dan terkesan tidak ada sesuatu yang besar di sana. Tetapi, cita-cita bu Ratmi adalah cita-cita mulia. Melakukan hal kecil dengan sungguh-sungguh dan penuh cinta, yang seringkali kita yang bercita-cita besar ini melupakannya.

No comments:

Post a Comment